Danny Che
Semua Tentang Sumba
Read On 0 comments
Read On 0 comments

Pasola Sumba

Pasola : Ini adalah bagian dari serangkaian upacara tradisionil yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu. Setiap tahun pada bulan Februari atau Maret serangkaian upacara adat dilakukan dalam rangka memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Puncak dari serangkaian upacara adat yang dilakukan beberapa hari sebelumnya adalah apa yang disebut pasola. Pasola adalah “perang-perangan” yang dilakukan oleh dua kelompok berkuda. Setiap kelompok teridiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter kira-kira1,5 cm yang ujungnya dibiarkan tumpul. Walaupun tombak tersebut tumpul, pasola kadang-kadang memakan korban bahkan korban jiwa. Tapi tidak ada dendam dalam pasola, kalau masih penasaran silakan tunggu sampai pasola tahun depannya. Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.

Pasola, Tragedi Asmara di Padang Savana

Membedah pulau Sumba terbesit pesan Sumba adalah pulaunya para arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian para abdi. Nama Sumba atau Humba berasal dari nama ibu model Rambu Humba, istri kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak landasan suku-suku atas kabisu-kabisu Sumba.

Dua pertiga penduduknya adalah pemeluk yang khusuk berbakti kepada arwah para leluhurnya, khususnya kepada bapak besar bersama, sang pengasal semua suku. Marapu menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin Suku dan Imam agung para Merapu. Altar megalik dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu) adalah bukti pasti akan kepercayaan animisme itu.

Sumba, pulau padang savana yang dipergagah kuda-kuda liar yang kuat yang tak kenal lelah menjelajah lorong, lembah dan pulau berbatu warisan leluhur. Binatang unggulan tingkatan mondial itu semakin merambah maraknya perang akbar pasola, perang melempar lembing kayu sambil memacu kuda, untuk menyambut putri nyale, si putri cantik yang menjelma diri dalam ujud cacing laut yang nikmat gurih.

pasola_man.jpgPasola berasal dari kata `sola’ atau `hola’, yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.
Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan bulan Maret di Wanokaka. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.

Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabius yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta nyale.

pasola3.jpgpasola2.jpgpasola1.jpg

Skandal Janda Cantik

Menelurusi asal-usulnya, pasola berasal dari skandal janda cantik jelita, Rabu Kaba sebagaimana dikisahkan dalam hikayat orang Waiwuang. Alkisah ada tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah dinanti sekian lama dan dicari kian ke mari tidak membuahkan hasil, warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. Mereka pun mengadakan perkabungan dengan belasungkawa atas kepergian kematian para pemimpin mereka.

Dalam kedukaan mahadahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum’ Umbu Dulla, Rabu Kaba mendapat lapangan hati Rda Gaiparona, si gatotkaca asal Kampung Kodi. Mereka terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi kekasih.

Namun adat tidak menghendaki perkawinan mereka. Karena itu sepasang anak manusia yang tak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari. Janda cantik jelita Rabu Kaba diboyong sang gatot kaca Teda Gaiparona ke kampung halamannya. Sementara ketiga pemimpin warga Waiwuang kembali ke kampung. Warga Waiwuang menyambutnya dengan penuh sukacita.

Namun mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla menanyakan perihal istrinya. “Yang mulia Sri Ratu telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung Kodi,” jawab warga Waiwulang pilu. Lalu seluruh warga Waiwulang dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang mabuk kepayang itu. Keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula.

Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung Bodu Hula namun Rabu Kaba yang telah meneguk madu asmara Teda Gaiparona dan tidak ingin kembali. Ia meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.

Pada akhir pesta pernikahan keluarga, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik Rabu Kaba. Atas dasar hikayat ini, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka Sumba Barat mengadakan bulan (wula) nyale dan pesta pasola.

Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian insani dan menjadi terminal pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur.
Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk pemeluk Marapu. Karena itu pasola pada tempat yang pertama adalah kultus religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Hal ini sangat jelas pada pelaksanaan pasola, pasola diawali dengan doa semadhi dan Lakutapa (puasa) para Rato, foturolog dan pemimpin religius dari setiap kabisu terutama yang terlibat dalam pasola.

Sedangkan sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan pentahiran bagi setiap warga Paraingu dan pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan pasola, dipandang sebagai bukti pelanggaran atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang pasola.

Pada tempat kedua, pasola merupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum’ perang damai dalam permainan pasola. Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga Kodi dan beralih status dari istri Umbu Dulla menjadi istri Teda Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi peristiwa yang sangat menyakitkan dan tamparan telak di muka keluarga Waiwuang dan terutama Umbu Dulla yang punya istri.
Keluarga Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona. Keluarga Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan menjadikan seremoni nyale yang langsung berpautan dengan inti penyembahan kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi kesuburan dan sukses panen, sebagai keramaian bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba.
Pada tempat ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagu kedua kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola.
Selama pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung dan penonton diajak untuk tertawa bersama, bergembira bersama dan bersorak-sorai bersama sambil menyaksikan ketangkasan para pemain dan ringkik pekikan gadis-gadis pendukung kubu masing-masing. Karena itu pasola menjadi terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan.
Sebagai sebuah pentas budaya sudah pasti pasola mempunyai pesona daya tarik yang sangat memukau. Olehnya pemerintah turut mendukung dengan menjadikan pasola sebagai salah satu `mayor event’.

ikat_waeving.jpgKain Ikat : Pulau Sumba terkenal dengan kain ikatnya yang indah dan unik, kain ikat tersebut ditenun selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Kain ikat yang baik mempunyai nilai tradisionil dan ekonomi yang tinggi sekali. Selembar kain ikat Sumba yang baik dapat mencapai jutaan rupiah.

Kain ikat atau kain tenun ini dibuat dari kapas atau benang katun yang diwanteks, kadang-kadang proses mewainai benang yang akan di tenun itu dilakukan dengan sangat tradisonil yaitu dengan menanamnya kedalam tanah untuk beberapa minggu sebelum di tenun. Secara tradisional hanya wanita Sumba yang diperbolehkan menenun kain.

megalithic3.jpgUpacara penguburan dan kuburan batu: Salah satu dari sekian banyak keunikan yang terdapat di Sumba adalah upacara penguburan mayatnya yang dilakukan secara besar-besaran dan bentuk kuburan batunya yang unik.

Orang Sumba percaya bahwa kehidupan dan kematian adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, kematian seseorang adalah hal yang sama penting dengan kehidupannya. Dan seluruh proses kehidupan dan kematian tidak bisa dipisahkan dengan ternak mereka (kerbau, sapi, kuda dan babi).

Hewan mempunyai nilai tradisional yang sangat tinggi, dan memegang peranan yang penting dalam perkawinan atau pesta adat. Kalau seorang pria mempersunting wanita Sumba, dia harus membayar mas kawin berupa kerbau, kuda atau sapi yang jumlahnya tergantung dari kedudukan ayah atau keluarga wanita tersebut dalam masyarakat, tetapi jumlah tersebut sekitar 50 sampai 400 ekor bahkan lebih.

Begitu pula kalau ada anggota keluarga yang meninggal, pada saat penguburan, berpuluh-puluh hewan disembeli, jumlah hewan yang disembeli juga tergantung pada kedudukan orang yang meninggal atau keluarganya dalam masyarakat.

Bentuk kuburan orang Sumba juga unik, terbuat dari batu berbentuk kotak besar dengan tutup yang juga terbuat dari batu (lihat foto). Setiap keluarga bisanya punya sebuah batu kubur, jadi kalau ada anggota keluarga yang meninggal bisanya dikuburkan dalam batu kubur yang disediakan untuk semua anggota keluarga itu.

______________________________________________________________________________

Pasola is the name of ancient war ritual war festival by two groups of selected Sumbanese men. They riding their colorful decorated selected horses fling wooden spears at each other. This traditional ceremony held in the way of uniquely and sympathetically traditional norms, every year in February and March.

The festival occurs during February in Lamboya and Kodi. The main activity starts several days after the full moon and coincides with the yearly arrival to the shore of strange, and multihued sea worms – Nyale. The precise date of the event decided by Rato during the Wulapodu (the month of Pasola the fasting month).

Pasola is derived from the word Sola or Hola meaning a kind of a long wooden stick used as a spear to fling each other by two opponent groups of horsemen. The horses use for this ritual are usually ridden by braves and skilled selected men wearing traditional customs. In its wider and deeper meanings Pasola really not only is something worth looking on but also is something worth appreciating, for there are still other elements bound tightly behind it.

The people of Sumba believe that the ritual has a very close link to the habit of the people since it arranges the behavior and the habit of the people so that the balanced condition between the physical – material needs and the mental – spiritual needs can be easily created; or in other words the ritual is believed to be able to crystallize the habit and the opinion of the people so that they can live happily both in earth and in heaven. In addition to it, Pasola is also believed to have close relation to the activity in agriculture field, therefore any bloodshed (of sacrificial cattle or men participating in the game) is considered the symbol of prosperity that must exist. Without blood Pasola mean nothing to them. Those who died in the Pasola arena are believed to have broken law of tradition the fasting month.

Pasola Hotseback Fighting Festival

pasola_horse1.jpg

Pasola is the name of a war game tournament played by two groups of selected Sumbanese men. They riding their decorated selected horses fling wooden spears at each other. (The government allows the ritual game to take place, but the spears much the blunt). Pasola is a traditional ceremony of the Sumbanese held in the way of uniquely and sympathically traditional norms, every year in February and March and has become the focus of attention of the people since it is a part of the sacred homoge to the Marapu.

Marapu ” The Leader Man “

marapu.jpgPasola is, above all, the most exciting ritual of Sumba-where else in the world can you see colorful horsemen trying to kill each other? Where else in the world can you see the shedding of blood, the lost of and eye, and occasional death coloring the event and being the part of the game?. The ceremony occurs during February in Lamboya and Kodi and during March in Gaura and Wanukaka. The main activity starts several days after the full-moon and coincide with the yearly arrival to the shore of strange, and multihued sea worms - nyale. The precise date of the event decided by Rato during the wula podu (the month of pasola the fasting month).

Pasola Story by Mr. Ron Gluckman

marapu1.jpgAFTER MAKING HIS LONG INCISION, THE PRIEST pushes aside the bloody organs and indicates that I should take a closer look. Feathers fill the air, which smells of death. Voodoo curses come to mind as I gag my refusals and peer into the gaping wound.

Still gripping his bloody knife, the priest screams, and I leap away. My guide chuckles, then translates the priest’s incantation. “He says the signs are good. Now the festival begins.”

It was only much later, after marching in the moonlight to the sea and splashing in the waves looking for worms, after watching warriors on horseback fight and fall in a rain of bamboo spears, and after the sacrifice of still more chickens and water buffalo, that I gained any insight into what the priest saw in the entrails.

By then, the battles were over and the warriors were licking their wounds. Pasola was proclaimed a big success. Sufficient blood had been spilled to certify another bumper rice harvest. Sumba had been saved.

sumba1.jpg

Such is the cycle of life upon Sumba, where the Pasola fighting festival rages across wild lands that have never been tamed. Sandalwood Island is what the Dutch called Sumba, a small Indonesian isle on the Australian side of Flores and Sumbawa. Sumba supplied slaves - trophies of tribal warfare - as well as wood, but rebuked all attempts at colonization. The Dutch did not manage a presence on the island until the 20th Century.

sumba2.jpg

War is the heart and soul of Sumba. Pasola is a huge jousting free-for-all that takes its name from sola, the word for spear. Pasola is preceded by pajura, boxing contests, while some vilages host competitions in which contestants exchange verbal abuse for hours.Nobody really knows when Pasola started, or exactly when it will take place each year.

Share and Enjoy:
Read On 0 comments
Read On 0 comments
Read On 1 comments

Daftar Blog Saya

Pengikut